Kamis, 15 Maret 2012

UNTUK KALENG SUSU

 

Ujung jempolku sudah mulai terasa semutan, pegal dan baal. Mata minus satukupun mulai pedas dan pandangan sedikit kabur. Kuletakkan hand phone ku ke pangkuan. Kugerak-gerakkan kedua jempolku untuk mengusir rasa yang sangat tidak nyaman ini. Kucoba mengedip-ngedipkan mataku berharap pandangan mataku kembali normal dan jelas. Semua usahaku sia-sia, keadaan tidak berubah. Ah… mungkin lebih baik istirahat saja sebentar mungkin keadaan akan kembali normal. Kusingkirkan hand phone kesayanganku dari pangkuanku dan kuletakkan diatas meja. Hand phone tua inipun mungkin juga sudah lelah, bodinya sudah terasa hangat. Hand phone murah ini begitu besar jasanya buatku, menemani perjuanganku selama ini tanpa mengeluh sedikitpun.

SAJAK KALENG SUSU
ku buka kaleng bekas susu anakku
yang bermerk x
lalu kutuang sajak–sajakku kedalamnya
biar saja tersimpan
dan memenuhi tumpukan
kaleng - kaleng bekas itu
kelak anak anakku yang membukanya 
dan mengeluarkan dari sana
sajak sajakku tersimpan
di pojok gudang 
lusuh bertumpuk debu

Tegal Alur,14 September  2011

“Bu, bubur si adik diberikan sekarang ?” tiba-tiba mbak Jum pengasuh Valen, anak bungsuku yang baru berumur 9 bulan sudah berdiri di sampingku. Di tangannya ada mangkok biru kesayangan Valen.

“Hmm…. Ya deh, kasih sekarang saja “ aku menjawab sedikit bingung.

“Ya bu”, mbak Jum menjawab dan sejenak kemudian punggungnya sudah tidak terlihat lagi di balik tirai yang memisahkan ruang tamu tempatku duduk dan ruang tengah sekaligus ruang makan dimana biasanya Valen di baringkan.

 Kusandarkan punggungku ke sofa lusuh tempatku duduk selama ini. Kepalapun sejenak kuistirahatkan diatas sandaran sofa agar leher yang sudah sedari tadi terasa pegal bisa juga ikut istirahat. Kepalaku yang sedikit menengadah membawa pandangan mataku yang kabur pada kipas besar yang tergantung di plafon ruang tamu sempit ini. Kipas berbilah triplek terlihat makin kusam dalam pandang mataku yang masih juga sedikit kabur. Bilah kipasnya berputar pelan seakan menggambarkan berjalannya waktu. Hembusan anginnya terasa menggoyangkan rambut-rambut halusku diatas kening yang kurasa mulai panas karena terus berkonsentrasi tadi. Kupejamkan mataku.

Mungkin sudah lebih satu setengah jam aku mengetik cerpenku di dalam hand phone ini sejak pulang kantor tadi. Bahkan pakaian kantorpun belum sempat aku ganti dengan baju rumah. Aku menuliskan cerpen di hanphone sejak computer kuno Pentium II ku mulai sering ngadat dan akhirnya rusak sama sekali sejak tiga bulan yang lalu. Cerpen-cerpen ini biasanya ku kirim ke redaksi tabloid melalui email atau kadang melalui pengiriman file di Yahoo Messenger. Dengan mengirim cerpen-cerpen ini ke tabloid aku mendapat uang tambahan untuk membeli susu kaleng Valen dan kakaknya, Vanes, anak sulungku yang kelas satu sekolah dasar. Tadi karena terlalu asyik menulis sampai tidak begitu mendengar ketika Vanes berteriak sambil berlari minta ijin main keluar dan aku hanya mengiyakan saja tanpa menanyakan kemana mainnya seperti biasa. Budi, suamiku, bila sedang libur setelah dinas malam biasanya pada waktu seperti ini selalu mencoba menjauhkan anak-anak dariku agar aku tidak terganggu. Tapi saat ini dia belum pulang kerja. Aku masih ingat kemarin Budi mengingatkanku untuk istirahat menulis di hand phone.

“Mah, istirahat dulu, nanti jempol mamah bengkak lho” katanya.

 “Sebentar”. Jawabku singkat.

Dari samping hand phone yang ku pegang, aku sempat melirik dan kulihat kaki Budi berdiri disampingku. Aku memandangnya sambil sedikit bermuka masam. Sejenak ku hentikan ketikanku. Kualihkan pandanganku dari screen handphone ke wajahnya. Terlihat pandangan mata Budi yang jelas menyiratkan kekawatirannya namun di wajah itu juga menggambarkan rasa bersalahnya karena sampai hari itu tidak juga  mampu membelikan laptop bekas yang ditawarkan anak bosku di kantor.

“Sebentar lagi, ayah tolong urusin Valen dulu deh” aku mengulang jawabku dan melanjutkan mengetik. Budi biasanya tidak memprotes hal ini karena dia tahu dari tulisan-tulisanku ini telah terbukti sangat membantu keuangan kami yang selalu pas-pasan setiap bulannya meskipun keduia gaji kami sudah digabungkan.

Memang sudah tiga bulan Ini, Budi berusaha keras mencari uang tambahan untuk membeli laptop itu supaya aku tidak lagi menulis cerpen-cerpen dan puisi-puisiku dengan handphone yang menyakitkan ini.

“Bu, adik nggak mau Jum suapin tuh” tiba-tiba suara mbak Jum membuyarkan lamunanku.  

“Kenapa ?” tanyaku sambil membuka mata dan menegakkan punggungku.

“Si adik selalu susah disuapin sama saya kalau sudah melihat ibu pulang kantor seperti ini “ mbak Jum menjawab sambil memperlihatkan mangkok bubur di tangannya yag masih penuh.

“Eeeaaa….” Sayup terdengar suara Valen di ruang makan seakan memprotes karena ditinggalkan sendirian disana.

“Ya sudah nanti biar aku yang nyuapin Mbak”.

Aku sedikit kawatir dengan Valen. Sudah hampir sepuluh bulan kata-kata yang keluar dari mulutnya eeeaaa… eeeaaaa saja. Dulu Vanes pada seumuran Valen ini sudah bermacam-macam kata dan bunyi-bunyian bisa diucapkannya. Aku meraih hanphoneku. Kulihat di layar ponselku masih terlihat hasil ketikan cerpenku. Ah, aku belum mensavenya, bisa-bisa kejadian kemarin-kemarin terulang lagi, tulisanku yang sudah aku buat dengan susah payah akhirnya hilang karena lupa tidak aku simpan ketika baterainya habis dan handphone mati saat kutinggal mengurusi pekerjaan rumah. Setelah menyimpan aku beranjak menyusul mbak Jum ke ruang tengah.

Ruang tengah rumahku hanya berukuran empat kali tiga setengah meter. Udaranya lebih panas disbanding ruang tamu tempatku duduk tadi. Ruangan ini sekaligus  menjadi ruang keluarga, ruang makan juga ruang bermain dan tidur siang bagi Valen dan Vanes. Ruangan terasa sempit karena meja makan dan rak televisi pemberian bosku dikantor memenuhi ruangan ini. Ditengan terbentang tilam, kasur tipis, dimana kulihat Valen duduk memegang mainannya. Melihatku masuk ruangan Valen mengangkat wajahnya memandangku.

“Eaaa..eaaaa..” teriak Valen gembira.

“Cayaaaang…. Kenapa anak mama nggak mau disuapin mbak …?” aku berlutut didepannya.

Tadi pulang kantor memang aku sempat menggendongnya sebentar kemudian kuserahkan ke mbak Jum saat aku ingat aku harus cepat menyelesaikan cerpenku sebelum batas waktu sebelum penerbitan mendatang. Menulis memang menjadi satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk menambah penghasilan keluarga disamping pekerjaan rutinku di kantor. Aku bekerja hanya sebagai tenaga administrasi perusahaan keluarga., sebuah perusahaan kecil jasa pergudangan.

Kesenanganku menulis puisi sudah kurasakan sejak masih disekolah dasar. Aku bahkan memiliki buku khusus berisi puisi-puisiku sewaktu di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Teman-teman yang sedang jatuh cinta ataupun yang sedang cemburu biasanya memesan puisi-puisi padaku untuk mengungkapkan perasaannya. Mereka selalu mengatakan puisiku terasa lain, entah apa maksudnya. Setelah menikah akupun terus menulis bahkan semakin produktif dengan semakin banyaknya referensi dari hasil tulisan penulis-penulis puisi terkenal. Puisi-puisiku makin berisi bahkan mengandung mistis, begitu komen-komen teman di jejaring social Facebook tempatku menumpahkan karya-karya puisiku yang seakan tidak berhenti mengalir di pikiranku. Akhirnya tulisankupun kukirimkan ke beberapa tabloid dan setelah beberapa kali penolakan akhirnya berhasil diterbitkan. Sekarang sudah menjadi kegiatan rutinku untuk menambah penghasilan. Semakin deras pula ide dan inspirasi menulis. Beberapa seniman dan penulis yang aku coba ajak berkawan ternyata memberikan penilaian yang cukup baik pada tulisanku di Facebook. Aku semakin bersemangat. Sampai pada akhirnya timbul keinginanku untuk membuat buku kumpulan puisi dan menerbikannya. Itu obsesiku yang sampai detik ini semakin kuat mendesak dada dan pikiranku.

“Eaaaaa…” terdengar kembali suara Valen.

Aku terkejut, ketika tangan Valen yang kecil mencoba meraih dan menyentuh wajahku. Aah rupanya bidadari kecilku ini protes karena aku tinggalkan melamun sementara wajahku tepat didepan wajahnya. Matanya yang besar bulat dengan bola mata hitamnya menyiratkan pandangan yang jernih, tidak menghakimi, tidak menilai hanya memancarkan kekaguman dan persahabatan memandangku. Mulutnya yang tertawa lebar selalu memaksaku ikut tertawa dan lupa dengan segala masalahku. Bibirnya yang merah  basah karena liurnya yang masih selalu menetes. Pipinya ranum penuh, berwarna kemerahan menghiasi kulitnya yang lembut dan halus, yang selalu berhasil menarikku untuk selalu tidak bosannya menciuminya. Setiap aku mencium untuk yang kedua kalinya dari ciuman pertama, Valen selalu bereaksi membuka mulutnya dan mengarahkannya ke hidungku seperti yang dilakukannya kini. Akupun selalu membiarkan mulut mungil itu mengisap dan mencoba menggigit-gigit hidungku dengan giginya yang kecil-kecil, semenatara tangan gemuknya mencoba mencengkeram pipiku. Kugoyangkan hidungku diantara kedua bibirnya sampai kurasakan air liurnya membasahi seluruh hidungku yang kadang sampai mengalir menetes di ujung hidungku. Momen ini selalu memberikan sensasi indah dan bahagia yang selalu melebur segala gundah pikiranku  akan segala persoalan yang mendera. Malaikat kecilku ini selalu memberikan sesuatu yang bahkan diapun pasti tidak menyadarinya. Valenku, malaikatku kaulah yang selau menghidupkan kembali semangat mama untuk terus berjuang mencoba mewujudkan cita-cita suatu saat bisa menerbitkan buku sendiri.

“Valen nakal ya, tidak mau disuapin mbak. Sini mama yang suapin ya…. Haaaak….”  aku coba suapin anak nakalku ini.
”Kalau mama tidak ada kenapa mau disuapin mbak, iiihhh ….. anak mama manja ya…?”

Meski awalnya seperti tidak mau, akhirnya Valenpun mau membuka mulut dan mencoba mengunyah buburnya meski hanya dengan gusinya karena giginya yang hanya empat buah di depan tentu tidak terlalu membantu mencerna bubur halusnya.

“Bu, ini susu adik sama kakak dah tinggal dikit lagi, besok juga sudah habis semua” kembali suara mbak Jum terdengar di telingaku.

Mbak Jum menyodorkan kaleng susu Valen dan Vanes dengan sedikit memiringkannya ke arahku agar aku bisa melihat kedalam isi kaleng. Aku menengok kedalam kedua kaleng bergantian. Ah, benar, terlihat sebagian dasar kaleng yang berkilat karena isinya yang sudah hamper habis. Semua beban yang tadi sempat hilang karena kuluman Valen pada hidungku kini mendadak muncul, membuncah di pikiran, menyerbu tak tertahankan seperti sebatalyon tentara musuh yang menyerbu masuk kedalam benteng yang telah runtuh dimana pasukan di dalamnya sudah tidak berdaya mempertahankan. Seketika rasa nyeri menyerang kepalaku di bagian kiri atas. Otakku terasa kosong tidak menemukan jawaban apa yang harus kuberikan.

“Apa saya beli ke supermarket sekarang Bu” kembali terdengar suara mbak Jum.

“Eeemm…. besok aja deh, biar sama saya aja mbak, atau nanti malam kalau ayah sudah pulang”, jawaban itu meluncur begitu saja tanpa kutahu apakah benar bisa aku lakukan.

“Iya deh”, mbak Jum menuju dapur meneruskan membuat susu Valen. Aku melanjutkan menyuapi Valen yang masih saja bermain dan tertawa-tawa dengan bunyi eeaanya.

Susu Valen dan Vanes adalah anggaran terbesar dalam keuangan kami. Setiap gajian, kedua jenis susu mereka ini yang selalu memenuhi tas belanjaan kami. Menjadi muatan utama motor suami yang kadang hampir tidak memberi ruang lagi untukku membonceng dibelakangnya saat pulang belanja.  Seusai belanja susu, biasanya kami berhitung, berapa lama sisa gaji kami bisa bertahan untuk hidup sampai akhir bulan dengan memperhitungkan kebutuhan hariannya. Kalau bisa bertahan sampai lima hari menjelang gajian berikutnya itu sudah sangat beruntung. Keuangan yang tekor, tidak sampai ke akhir bulan, bukanlah hal yang aneh bagi kami. Seminggu sampai sepuluh hari tekor adalah jadwal yang selalu hampir terjadi setiap bulannya. Dari sini aku dan Budi akan menentukan langkah agar mendapat pengahsilan tambahan menutupi tekor harinya. Budi akan mencari kawannya yang perlu tenaga pengganti dinas malam dan aku harus menulis puisi lebih banyak untuk dikirim ke tabloid.

“Yah, kalau nanti tulisan mama tidak berhasil dimuat, mama akan coba minta tambahan kasbon di kantor deh” aku mencoba mengajukan solusi masalah itu.

Solusi ?, ah sebenarnya kasbon hanyalah menunda masalah saja, tapi hanya itulah yang bisa kulakukan bila nanti tulisanku ditolak.

“Kan yang bulan kemarin belum lunas di kembalikan ma, emang boleh minta kasbon lagi ?” pertanyaan Budi ini tidak pernah kujawab, karena akupun sangsi juga akan keberhasilan usaha itu. “Nanti ayah saja yang cari deh” Budi mencoba mengurangi beban pikiranku, tetapi tidak berhasil karena aku tau Budipun juga tidak selalu berhasil mendapat tambahan.

Sebenarnya aku masih menyimpan sedikit uang sisa mendapat arisan kantor bulan lalu ditambah hasil budi ngobyek membantu pak Haji Sanusi menjual hasil panen empangnya . Simpanan ini aku cadangkan untuk membeli laptop bekas itu yang adalah sarana utamaku untuk bisa menulis dengan baik. Jantung utama menghasilkan karya dan ungkapan inspirasi-inspirasiku. Jalur utama menuju tercapainya cita-cita dan keinginanku menulis sebuah buku. Terkadang terjadi pertengkaran yanghebat antara aku dan Budi saat aku tenggelam didalam menulis dan menurut Budi aku mengabaikan urusan rumah tangga.

“Ma, mama boleh saja menulis. Ayah juga tau tulisan mama membatu keuangan kita, tetapi jangan mengabaikan urusan rumah tangga dong” itu yang selalu menjadi protes Budi.

Ah, kamu tidak tau. Kalau ini aku tuda semua bisa hilang. Otakkua sudah sangat penuh dengan ide-ide tulisan yang sejak tadi terus bermunculan. Aku ingin memprotesnya demikian, etapi aku lebih memilih diam dan tetap meneruskan menulis, takut semua inspirasi yang terus mendesak dikeluarkan ini terlanjur lenyap berganti kemarahan. Di mata Budi, sikap seperti ini dianggap sebagai keacuhan terhadap protesnya. Setelah aku anggap selesai menulis akupun akan berapi-api memberi argumen atas protesnya. Kemarahan yang sudah terpendam dibawah sadar akibat segala problem yang ada terutama masalah ekonomi di otak kami akhirnya menjadi penyulut pertengkaran hebat diantara aku dan Budi. Seperti biasa akan merembet kemana-mana seperti api disiram minyak, nyalanya makin berkobar. Bahkan dua bulan yang lalu kejadian seperti itu akhirnya membuat Budi gelap mata dan praang…. Handphoneku hancur berantakan dibantingnya di lantai. Kami tidak saling menyapa beberapa hari. Dalam kondisi seperti itu kami akan tidur terpisah, salah satu dari kami akan tidur di luar kamar dan tidur diruang keluarga, aku atau Budi, tergantung siapa yang sudah duluan tertidur di kamar.

“Ini bu susu adik” mbak Jum menyodorkan botol susu Valen. Bubur dimangkokpun juga sudah mapir habis.

“Bentar, biar habis dulu buburnya, nanti mbak Jum yang kasih susunya ya” aku menjawab sambil menyodorkan suapan terakhir ke mulut malaikat kecilku ini.

Setelah menyeka mulut Valen yang berlepotan bubur dan memberinya air putih, aku bangkit ke dapur untuk meletakkan bekas mangkok makan Valen. Mbak Jum mengambil alih memberi susu Valen. Kulihat dari dapur yang memang sama sekali tidak terpisah dari ruang tengah itu, Valen mau minum susunya. Yah … untuk yang satu itu, susu, Valen tidak pernah memilih siapa yang akan memberikan, akan dilahapnya habis seluruh isi botol, bahkan kadang masih merengek minta tambah.

Selesai mencuci mangkok, aku menuju kamar untuk berganti pakaian. Melewati ruang tamu kulihat Valen berbaring dengan dibantu mbak Jum masih asyik menyedot botol susunya dengan rakus. Mata beloknya sama sekali tidak terpejam, bahkan pandangannya tidak lepas memandangku yang berjalan pelan menuju kamar.

Kaus katun tipis dan celana pendek akan lebih memberi keleluasaan padaku,dan itu akan lebih memperlancar inspirasiku kembali menulis dengan handphone. Aku menuju ruang tamu sambil kembali membuka file cerpenku yang tadi sempat tertunda. Kembali melewati ruangan dimana Valen berbaring sambil minum susunya, kulihat matanya kembali memandangiku. Aku tidak tahan membiarkan tanpa menciumnya. Kudekati tempatnya berbaring, berlutut disampingnya sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya.

“Valen cayang… habis ini bobo yah, tidak boleh bandel …. mengerti” aku pura-pura memarahinya dan kemudian mencium pipi ranumnya. Tiba-tiba Valen menghentikan sedotan pada botolnya, ditepisnya botol yang dipegangi mbak Jum kesamping sehingga terlepas dari mulutnya. Sebagian susu mengucur ke pipi dan lehernya.

“Eeeeaa….eeeaaa” Valen tertawa melihatku. Tangannya yang mungil mencoba meraih wajahku. Sama sekali tidak ada tanda-tanda takut kumarahi.

“Tidak boleeee…. Cayaang…., mama mau kerja. Valen mimik cucunya sama mbak aja yah”  kali ini aku tidak membiarkan Valen meraih hidungku dengan mulutnya. Bahkan aku beranjak meninggalkannya menuju ruang tamu. Mbak Jum yang sudah selesai membersihkan bekas tumpahan susu di pipi dan leher valen dengan air hangat kembali menyodorkan botol susu ke mulut Valen yang sudah pasti menyambutnya tanpa penolakan sama sekali. Yah… kedua anakku ini benar-benar susu mania.

Diruang tamu aku kembali melanjutkan mengetik cerpenku dengan handphone. Ya, cerpen, bukan puisi. Beberapa hari yang lalu aku ditelpon Mas Al redaktur tabloid yang biasa menerima kiriman pusisiku.

“Mbak,coba mbak buat cerpen ya. Mungkin pembaca ingin variasi. Honornya lebih besar lho” terdengar suar mas Al diujung telepon.

“Bener nih mas ?” aku masih belum yakin, “Kalau bener ako coba buat, tetapi aku tidak yakin. Aku nggak biasa pikin cerpen”

“Coba deh. Aku yakin mbak bisa.” Mas Al menyemangati “Aku kasih waktu semingu dari sekarang ya..., buat saja kira-kira 7 halamanlah”

Itulah mengapa aku menulis cerpen saat ini, bukan puisi. Honor lebih besar. Ah, mengapa aku menjadi mata duitan begini. Sampai-sampai kukorbankan diriku, dari seorang penulis puisi menjadi penulis cerpen. Tapi apa salahnya aku membuat keduanya. Dua-duanya adalah sarana mengungkapkan inspirasi yang terus bermunculan seperti air mancur ditugu Monas. Aku hanya perlu menambah referensi apa itu cerpen dan bagaimana cara membuatnya. Yah aku harus mencoba. Mumpung ide cerita itu sudah mulai kudapat.

Kembali jari-jariku menari lincah diatas tombol-tombol mungil di handphoneku. Tidak jarang aku salah tulis, del dan backspace mungkin akan marah karena berkali-kali aku pencet untuk menghapus bagian yang salah tulis. Layarnya yang mungil menyebabkan aku tidak bisa melihat keseluruhan tampilan kalimat-kalimatnya secara utuh. Ah, bagaimana aku bisa melihat apakah narasiku, deskripsiku juga dialog-dialog yang ku bangun bisa konsisten, runtut , tidak berulang dan bisa memaparkan dengan jelas pada pembaca nanti kalau layarnya hanya dua inci begini. Huuuh, sesaat aku ingat Budi. Gara-gara dia tidak mampu membelikanku laptop yang bahka cuma bekas, aku harus mati-matian berjuang seperti ini. Bulan depan apapun yang terjadi kedua gaji kami akan aku ambil setengahnya untuk menambah beli laptop anak bos itu, biar tidak sengsara begini. Aku semakin marah bila ingat ini semua juga untuk menambah penghasilan rumah tangga.

Aku masih melanjutkan menulis, meski pikiran timbul tengelam antara ide cerita dengan rencana membeli laptop bekas itu. Di facebook puisiku bahkan sudah menjadi langganan teman-teman. Komen yang selalu panjang penuh pujian kekaguman sudah biasa aku terima, kali ini aku harius mati-matian memeras ideku menulis cerpen. Hhhhhuuh, ternyata sangat berbeda dan tidak gampang. Saat menulis puisi bahkan aku bisa santai membiarkan perasaanku meluncur dan berubah menjadi kata-kata indah di tanganku. Kini, harus membuat cerpen. Setiap beberapa baris kutulis aku mengulang membacanya dan ….. kembali cerpenku bertabur kata-kata indah dan kiasan kas puisi. Huuuuhhh… del, del…..del. Mulai lagi. Narasi, Deskripsi dan Dialog, ketiga kata itu terus saja aku munculkan dipikiranku agar aku tetap bisa konsisten menulis cerpen, bukan puisi. Jari-jariku kembali terasa nyeri dan merah. Bulan depan laptop itu harus kuperoleh.

“Mah, kalau mamah mau bersabar barang tiga bulan, mungkin Ayah bisa dapatkan uangnya untuk membayar laptop bekas Ahim itu”, ini kalimat Budi minggu lalu selesai kami berdamai setelah ribut dan saling mendiamkan selama tiga hari.

“Tiga bulan,…?” balasku setengah berteriak “Sudah telat tahu ….!”

Aku harus mendapatkan laptop itu bulan depan, titik. Hatiku sudah tidak bisa ditawar lagi. Kalaulah Budi tidak ada tambahan uangnya, seluruh gajiku akan kugunakan untuk menambah kekurangannya. Biar Budi mencari uang tambahannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sampai akhir bulan. Aku tidak mau lagi menunda-nunda terus cita-cita dan tekadku untuk menulis dan memnerbitkan buku. Harus!. Tidak ada kompromi. Sudah terlalu lama aku menunggu, bahkan sudah terlalu lama kedua jempol ini disiksa, sementara otakku setiap hari penuh dengan ide-ide yang ingin kutulis. Kalaulah memang harus ribut besar, kali ini aku sudah siap dengan segala resikonya. Ayo kita ribut sampai dimanapun, aku tidak akan mundur lagi kali ini.

Didalam kemarahan, jariku terus menari semakin lincah. Ide terus mengalir deras seperti hujan yang turun disetiap awal tahun. Membanjiri seluruh persawahan, demikian juga ideku membanjiri seluruh pikiranku. Tak terasa lagi rasa nyeri itu. Aku terus mengetik dengan handphoneku.

“Eeeeeaaaaaaaa….eeaaaaaa…..” tiba-tiba terdengar jeritan Valen di ruang sebelah.

Suara tangisan Valen yang melengking seakan menahan kesakitan yang sangat dalam. Seketika aku terhenti menulis. Spontan kuletakkan handphone di sofa, aku meloncat menuju ruang dimana Valen berada. Kulihat mbak Jum yang rupanya tertidur, terlihat matanya yang masih merah dengan rambut acak-acakan, mencoba menenangkan Valen yang menangis menjerit-jerit.

“Kenapa mbak Jum ….” Aku berlutut menghampiri mbak Jum yang menggendong Valen.

“Nggak tau bu, saya tertidur habis memberikan susu tadi” mbak Jum menjawab dengan ketakutan. Sekilas kulihat Jam didinding, jam 22.35. Ah rupanya sudah hampir dua jam aku menulis. Tidak terasa. Kulihat Vanes yang tidur disamping adiknya ikut terbangun dan bengong duduk disampingnya.

“Eeeeaaaaaa…..eeeaaaaa” Valen masih menangis kencang. Matanya yang besar tidak lagi terlihat. Mata itu setengah tertutup. Napasnya tersengal-sengal. Kepalanya nampak berkeringat.

“Mungkin mimpi bu “ mbak Jum mencoba memberi argumen.

Aku meraih Valen dari pelukan mbak Jum.

“Cup…cup…cup … sayang, mimpi yah ?” Aku peluk Valen dan membawanya ke ruang tamu yang lebih terang. Aku tepuk-tepuk dan kuelus punggung dengan sayang.
Beberapa saat kemudian tangisnya mereda.

“mbak Jum, tolong buatin susu Valen yah”

“Tapi bu, kan itu tinggal sedikit sekali, bagaimana dengan besok” mbak Jum mengingatkan.

Ya ampun, ini sudah hamper tengah malam, mana bisa membeli susu sekarang. Bagimana ini ?. Ah, gara-gara keasyikan nulis jadi begini. Besok mau tidak mau harus membeli. susu Valen dan susu Vanes. Sekarang masih pertengahan bulan artinya untuk sampai akhir bulan harus membeli untuk persediaan minimal sepuluh hari. Hah…. Sepuluh hari ?. Itu berarti akan memerluakan uang kira-kira …….. ah. Itu juga berarti aku harus membongkar simpanan untuk membeli laptop, berarti laptop juga gagal kudapat bulan depan. Sementara laptop ini aku yakin akan memberikan tambahan penghasilan yang lumayan disbanding aku menulis dengan handphone.

Perang batin sempat memuncak saat suara tangis Valen makin lirih dan napasnya makin teratur. Budi harus bertanggng jawab tentang ini. Dia harus berusaha untuk mendapatkan biaya susu Valen dan Vanes besok, entah bagaimana caranya. Terserah, Dialah kepala rumah tangga ini. Masih mending bakatku menulis bisa memberikan hasil, Dia harus tau itu, dia harus berterima kasih atas segala usahaku. Dia harus bisa menutup semua kekurangan ini. Aku tidak mau kompromi lagi.

“Valen cayang … bobo lagi yah” kuangkat tubuh mungil Valen yang menelungkup dibahu kiriku ke pangkuanku sambil duduk di sofa.

Kini aku bisa melihat wajahnya. Tangisnya sudah benar-benar berhenti, matanya yang masih berkaca-kaca memantulkan sinar lampu diruang tamu. Matanya yang tadi setengah tertutup kini terbuka lebar, bulat, bercahaya. Bibirnya yang merah itupun kini sudah tidak melengkung kebawah, tetapi mulai menampakkan senyumnya. Valen benar-benar sudah bangun sepenuhnya. Matanya yang jernih memandangku, entah apa yang ada dalam pikiran anak sekecil ini saat mata kami saling memandang.

“Kenapa tadi menangis Valen cayaaaang….hah… napaaaa” tanyaku sambil tersenyum menggoyang-goyangkan kepalaku maju mundur kearahnya.

“Eeeeaaaaaa …..” anak manjaku ini tertawa, sambil menggelinjangkan tubuh mungilnya

“Eiiihhh, nggak malu ya. Tadi anak mama nangis, sekarang kok tertawa-tawa. Malu niiih sama mama” candaku padanya sambil menggelitik dadanya

“Eea.. ma..ma..ma..ma “ kambali Valen tertawa spontan memasukkan kepalan tangannya yang mungil kedalam mulutnya :”mama…ma..ma..ma…” kali ini kakinya menendang-nendang seakan ingin turun dari pangkuanku, “mama…mama…mama”

Ah, aku bahagia melihat Valen kini sudah tenang bahkan bisa tertawaa-tawa dan berceloteh. Eeiiit …. Tertawa ? berceloteh ?. Aku tiba-tiba seperti diguyur dengan seember air dingin di kepalaku. Mama katanya ….? Mama, valen memanggilku ? Ah … ehmmm ya, Valen tadi mengucapkan kata-kata itu. Kata yang sudah lama aku tunggu. Kata yang dulu selalu membuatku merasa berharga saat pertama Vanes memanggilku dengan mama
“Mama..mama..ma”.

Jelas, kali ini aku mendengarnya dengan jelas dan sadar, bahkan mataku langsung menatap bibir mungil yang mengucapkan itu. Valen, anak bungsu manjaku ini mulai menyebutkan kata mama. Kata-kata yang selalu aku ucapkan padanya untuk ditirukan. Kata yang lebih lama kutunggu dari mulut mungil Valen dibandingkan dulu ketika Vanes belajar mengucapkan itu. Vanes sangat cepat dalam mengenal dan mengucapkan kata indah itu. Valen memanggilku mama kini, bukan dengan eeaa… eaaa seperti biasa. Terimakasih Tuhan, akhirnya kau anugerahkan kata indah itu melalui bibir mungil putrid bungsuku ini. Terimakasih Tuhan.

“Bu, susu adik jadi mau dibuat ?” tiba-tiba suara mbak Jum membuyarkan eforia rasa bahagiaku bersama Valen.
“Yah, buat sekarang mbak. Habiskan saja” kataku tegas tanpa keraguan. Meskipun sedikit ada tanda-tanya mbak Jum pun beranajak ke dapur membuat susu untuk valen.

Terbayang dimataku, kilat dasar kaleng itu akan terlihat sepenuhnya bila kita melihat kedalamnya, karena susu bubuk didalamnya akan ditumpahkan habis untuk diseduh. Oleh mbak Jum. Huh, aku tidak peduli. Sebentar lagi Budi akan sampai dirumah setelah sift siangnya. Aku akan memintanya ke supermarket 24 jam di ujung taman langganan kami untuk membeli susu buat Valen dan juga vanes. Akan kuambil simpanan di lemari, biar semuanya di belanjakan susu untuk kedua bidadariku ini. Aku tidak peduli lagi kapan laptop bisa aku dapat. Aku masih bisa menggunakan kedua jempolku untuk menulis di handphone. Cita-citaku menulis buku juga tidak akan mati tanpa laptop. Kedua malaikatku ini adalah hasil cinta kami, bukan sekedar tanggung jawab Budi, ayahnya, tetapi juga tanggug jawabku juga.

Kekayaan yang membuatku merasa kaya

Terkesima penuh rasa syukur pada Yang Esa
atas segala karunia dan rahmatNya

Rahmat sehat
yang tak bisa di kurskan
dengan trilyunan dollar atau pun rupiah
aku kaya karena diberi oleh Allah
kesempurnaan dan kesehatan

aku kaya karena  diberiNya
dua putri yang lucu sehat dan pintar
Alhamduliilahirabbil Alamin
Terima Kasih
Ya Rahman Ya Rahhim

aku kaya karena aku bahagia
dengan keluargaku
anak anakku dan suamiku
aku kaya karena senyum anak anakku
membuatku kaya akan kebahagiaan dan cinta

aku kaya bukan karena mobil
dan rumah mewah
atau harta yang berlimpah
aku kaya atas bahagiaku
sehatku seluruh keluargaku

Terimakasih Ya Allah
atas kekayaan ini yang
menjadikan aku merasa kaya

Valen malam ini memanggilku mama untuk yang pertama kalinya. Entah disadarinya atau tidak, aku tidak perduli. Hatiku penuh. Akalku tiba-tiba terbuka terang. Anak-anakku adalah segalanya. Tidak ada satu halpun yang bisa menyingkirkannya dari hatiku, tidak juga laptop bekas itu. Cita-citakupun tidak akan pupus.


Jakarta September 2011
Untuk anak-anak dan suamiku tercinta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar